Bio-Solar menjadi ‘peluang’?
Kenaikan BBM yang terakhir terjadi akibat kenaikan
harga minyak dunia mengakibatkan dampak yang cukup signifikan bagi negara kita,
terang saja akibat kenaikan bahan bakar ini, bahan makanan, bahan bangunan, dan
bahan-bahan lainnya ikut naik juga, dan tentu saja ini merupakan kabar buruk
bagi Indonesia maupun dunia. Akankah
krisis ini berkurang? Tanya diri sendiri ^^.
Nah, ngomong-ngomong soal kenaikan BBM nih, para
bloggers pasti tau kan apa-apa saja sih jenis bahan bakar yang dijual di
pasaran atau di SPBU? Yap! Ada bensin (premium) dan solar. yang menarik
perhatian saya kali ini adalah bahan bakar jenis solar, karna bahan bakar ini
selain lebih murah dan peminat dari bahan bakar jenis ini cukup banyak. Dan
pasti temen-temen udah tau kan bahan bakar solar yang telah dimodifikasi menjadi
bahan bakar solar hayati atau sekarang kita sering menemukan di SPBU dengan
nama Bio-Solar. Nah, apakah bahan bakar ini? Bagaimana perkembangannya? Sebesar
apa peranan dari bahan bakar ini dibandingkan solar? Mari kita telaah!
Oke, sekarang kita akan membahas apa sih Bio-Solar
itu? Apa sih kegunaannya? Apa sih keunggulan dan kelemahan bahan bakar
terbaharui ini? Mari kita sidak lebih lanjut! Pasang sabuk pengaman anda! *loh?
Apa sih Bio-Solar itu? Bio-Solar adalah bahan bakar
yang terdiri dari 5 % FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dan 95 % solar murni
(yaitu solar yang biasa kita pakai). Jadi Bio-Solar ini adalah bahan bakar yang
masih mengandung solar murninya yang berasal dari fosil tetapi telah
dicampurkan sedikit dengan bahan hayati atau yang bersumber dari bahan alami
yaitu FAME. FAME ini adalah bahan yang terdiri dari CPO (Crude Palam Oil) atau
CPJO (Crude Jatropha Curcas Oil) yang merupakan bahan dasar dari pembuatan
bio-fuel ini direaksikan dengan ethanol dan methanol dengan NaOH atau KOH
sebagai katalisatornya. Kemudian bahan ini dicampurkan dengan solar murni hasil
kilangan dengan cara blending sehingga menghasilkan bahan bakar yang mengandung
bahan hayati yaitu Bio-Solar, proses ini disebut dengan transesterifikasi. Dan
sekarang yang sudah tersebar di pasaran ini nih Bio-Solar jenis B5.
Langkah teliti yang dilakukan Pertamina selaku
produsen dari bahan bakar ini adalah melakukan pengawasan ketat terhadap proses
pembuatan bahan bakar ini, karena apabila sedikit saja bakteri yang masuk ke
dalam prosesnya akan menyebabkan jeleknya kualitas yang dihasilkan yang
kemudian akan didistribusikan. Salute for Pertamina!
Prosesnya uda kita bahas nih, sekarang kita akan
membahas keunggulan dari bahan bakar terbaharui ini, keunggulan dari bahan
bakar ini antara lain adalah sifat dari bahan bakar ini yang ramah lingkungan
karena bahan hayati yang terkandung di dalamnya, sehingga bahan bakar ini bisa
di daur ulang atau bahasa kerennya renewable
. Selain itu juga bahan bakar ini mempunyai angka cetane yang lebih tinggi dari
solar murni yang hanya 48, Bio-Solar ini mempunyai angka cetane 51-55. Jadi
apabila angka cetane semakin tinggi dari sebuah bahan bakar, maka pembakaran
akan semakin sempurna sehingga angka polusi akan bisa diminimalisir.
Dalam segi pemakaian, Bio-Solar ini lebih hemat dari
solar murni, bila solar murni hanya mencapai 9,76 km dalam pemakaian 1 liter,
Bio-Solar bisa mencapai 10, 14 km per liter. Selain ramah lingkungan, bersih
pembakaran, ternyata bahan bakar ini juga bagus dari segi penghematannya.
Setelah kita membahas keunggulan dari bahan bakar
jenis ini, mari kita bahas juga kelemahannya. Kelemahan dari bahan bakar jenis
ini adalah bahwa bahan bakar jenis ini tidak cocok digunakan pada kendaraan
yang biasa mengedepankan daya dan kecepatan, karena daya yang dihasilkan dari
bahan bakar ini lebih rendah dari solar murni. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
akankah mesin-mesin kendaraan pengangkut di Indonesia yang mayoritas
mesin-mesin besar (Truk, Fuso, Patas, dll) yang memerlukan pasokan tenaga yang
lebih besar tentunya cocok dengan bahan bakar jenis ini? Dengan angka cetane
yang mencapai 51-55 ini apakah cocok dengan mesin-mesin yang masih terbilang
‘kuno’ dari segi teknologinya (karena masih bermesin konvensional, belum
memakai mesin modern common rail) yang biasa hanya memakai bahan bakar dengan
angka cetane 48, hal ini perlu pembuktian secara teknis oleh Pertamina sebagai
produsen dan sosialisasi yang pelu digencarkan lagi.
Oke, bagaimana dengan info diatas para bloggers? Apakah cukup
melegakan? Oke, untuk info selanjutnya yang saya dapatkan adalah mengenai peran
PT. Pertamina yang telah sangat berjasa dalam mengatasi masalah krisis minyak
dunia berbahan dasar fosil yang diisukan akan segera habis, diharapkan
Pertamina dapat berkerja sama dengan PTPN selaku produsen CPO untuk
menghasilkan bahan bakar hayati atau Bio-solar lebih besar lagi, tidak menutup
kemungkinan Indonesia bisa menjadi produsen besar hingga bisa mengekspor bahan
bakar jenis ini ke negara lain. Ini sebuah terobosan besar bagi negara kita
mengingat bahan baku yang melimpah di negeri kita, ini sebuah peluang yang
bagus untuk Indonesia sendiri, mari kita dukung! Hidup Indonesia!